Wednesday 16 June 2010

Message from Karan Johar

If you want to be someone in life
if you want to achieve something
if you want to win
always listen to your heart
and if your heart doesn't give you any answers
close your eyes
and think of your parents
and then you will cross all the hurdles
all your problem will vanish
victory will be yours
only yours...

Kabhi Khushi Kabhie Gham
*It's all about loving your parents

Monday 14 June 2010

Untuk Seorang Kakak, Bernama Yuli Sasongko


Di sebuah Sabtu malam aku bermimpi, aku datang padanya di detik-detik terakhirnya. Kucium tangannya, dan dia tersenyum padaku. Dia anggukkan kepalanya dengan penuh kepayahan, sungguh tak kuasa aku menahan sketsa memilukan itu. Aku berterima kasih pada Allah yang masih memberiku kesempatan untuk mengenang senyum indahnya meski hanya dalam mimpi.

Dan semenjak saat itu, bayangan gambarmu benar-benar tak lepas dari ingatanku. Engkaulah kakak tercintaku, yang tidak pernah berhenti untuk kubanggakan, seorang Yuli Sasongko.

Lima Juli itulah tanggal lahirmu. Di sebuah kota kecil, tempat belum banyak ditemukan dokter ahli persalinan. Engkau lahir sebagai putra pertama. Penyejuk dahaga sebuah keluarga kecil kita. Ibu pernah berkata, sebagai putra pertama engkau telah begitu banyak menahan segala bentuk keprihatinan. Mengikuti bapak dari satu kota ke kota lain. Tinggal dalam sebuah kamar sempit berdinding bambu dan penuh nyamuk. Berjalan kaki berkilo-kilo untuk bisa menikmati sepiring sate ayam. Namun begitulah dirimu, kau tumbuh menjadi seorang putra yang sehat, lincah, gemar berceloteh riang. Tingkahmu yang membuat semua orang tertawa geli dulu, kata ibu, adalah saat engkau menyanyikan sepotong lagu irama melayu yang seharusnya diucapkan, “Dia Isabela…”, kau tuturkan menjadi “Dia bela bela…”.

Lalu setelah beberapa tahun engkau habiskan waktu hanya bertiga di kota kecil Temanggung, datanglah aku sebagai adikmu. Masih dari kata ibu, waktu aku lahir dulu, kau pernah berkata, “Ibu, nanti kalau adik sudah besar, potong si blurik (ayam kalkun jantan di keluarga kami) ya. Nanti hatinya kasih buat adik.” Kata ibu, “Lho kan mas suka hati juga?” Jawabmu, “Ya kan bagi-bagi, sekarang kan mas sudah punya adik.” Pada kenyataannya, kau tidak hanya berbagi, tapi kau berikan semuanya untukku. Sama dengan masa-masa sesudah itu. Untuk aku, adikmu, kau serahkan seluruhnya. Tak peduli apakah adikmu ini nakal, susah diatur, tukang nangis, suka merajuk dan membuatmu marah.

Sejujurnya tak banyak waktu yang kita lalui untuk sering berbicara dari hati ke hati. Kata orang karena kita sama-sama lebih banyak diam. Tapi dalam kediaman itu aku menemukan sosokmu. Sering kubaca tulisan-tulisanmu. Betapa kau mengagumi kisah Bharatayuda, Ramayana dan kisah-kisah klasik lain. Betapa kau sangat mengagumi seorang Jenderal Besar Sudirman. Betapa kau begitu menggenggam erat cita-citamu untuk menjadi seorang prajurit sejak engkau kecil. Aku masih ingat, saat aku masih duduk di TK, ketika truk-truk berisi puluhan manusia berbaju loreng lewat dekat rumah kita, kau akan bergegas keluar kamar ke halaman, berdiri tegak dan memberi hormat pada mereka. Dan kemudian demi cita-cita itu, kau tuliskan sendiri jalan yang ingin kau lalui. Meskipun kemudian satu demi satu harapanmu itu kandas dan berujung kegagalan.

Ya, kau harus menelan pil pahit kegagalan. Betapa jalanmu sungguh tidak mudah, Mas. Namun disitulah kemudian aku menemukan kembali sosok sesungguhnya dirimu. Seorang pemuda yang punya mimpi, punya cita-cita, optimis dan berpengharapan. Seorang pemuda yang meski harus dihadang oleh kegagalan, meski harus menangis menahan kesedihan, tetap berusaha untuk tegar, gagah menghadapi semuanya. Hingga kemudian salah satu episode kehidupanmu mengantarkanmu ke sebuah sekolah berasrama di Bandung. Itu pun belum selesai. Menjadi seorang prajurit lewat jalan yang kau impi-impikan ternyata harus pula tidak terlaksana. Sekali lagi aku harus menyaksikan perjuanganmu yang tak kenal menyerah itu, hingga kemudian kau menjadi salah satu barisan penerbang di Semarang. Begitulah lika-likumu.

Engkau hampir tidak pernah mengajariku dengan kata-kata. Bahkan kita tidak saling banyak bicara. Namun kepergianmu kala itu ke Bandung untuk masuk asrama, disusul untuk mengikuti pendidikan militermu, sungguh membuat adikmu ini kesepian. Aku bagaikan menjadi anak tunggal. Apakah mungkin ini strategi Yang Mahakuasa untuk mempersiapkan aku menghadapi masa sekarang? Namun, bagaimanapun itu, sejarang apa pun kita bicara, aku tak akan pernah lupa, ketika di sebuah malam terakhir liburan semester SMA-mu, kau duduk di sampingku, menyanyi untukku, mengerjaiku, membuat kita tertawa-tawa hingga tengah malam, sampai bapak terusik tidurnya. Aku juga tidak akan lupa, pada suatu malam Idul Fitri kita menonton Jaelangkung bersama, ketakutan bersama dan sembunyi bersama. Tak mungkin pula lupa pada saat-saat menonton Conan bersama, aha kau sering salah menebak siapa pembunuhnya hingga akhir cerita. Dan aku pun tidak mungkin lupa, pada kebiasaanmu mendengarkan Didi Kempot saat sedang mencuci motor kesayanganmu.

Dan kemudian datanglah hari itu. Saat doa lebih utama dari ribuan kenangan. Saat air mata sulit untuk berhenti menetes sepanjang hari. Saat yang dicintai dan dibanggakan dengan sepenuh hati tinggallah nama. Saat kerinduan tak akan lagi bisa dilampiaskan dalam pelukan. Saat senyum dan tawa berganti menjadi diam, diam yang tak bernyawa. Aku hanya bisa melepasmu, Mas. Aku hanya bisa berdoa untukmu.

Telah banyak aku belajar darimu, Mas. Bukan dari kata-katamu, tapi cukup dari sikap diammu, tingkah lakumu, semangatmu, keyakinanmu. Bahkan ketika raga kita tak mungkin lagi bertemu, aku masih banyak belajar darimu. Izinkan aku, adikmu, melanjutkan semangatmu, mengenangmu dengan sepenuh hati dan menjadikan kenangan itu sebagai sebuah pelajaran berharga dalam hidup. Aku benar-benar bangga, menjadi seorang adik darimu, menjadi orang yang pernah bersaksi akan kehadiranmu, sungguh pun Allah hanya beri kita sedikit waktu. Teranglah jalanmu, lapanglah tempatmu dan tersenyumlah, Mas. Doaku tak akan berhenti untukmu.

Jakarta, Juni 2010
Dari adikmu, untuk seorang kakak yang sangat membanggakan, bernama Yuli Sasongko, yang telah dipanggil Allah pada 8 Juni 2009 pada sebuah kecelakaan helikopter di Cianjur, Jawa Barat. Semoga Allah selalu merahmatimu, melindungimu dan menjadikanmu salah satu ahli surga. Amin.