Ini pertama kalinya saya menulis curahan hati di blog. Sejak awal dan selama ini saya hanya berniat untuk berbagi tentang hal yang saya suka, hal yang menarik buat saya, momen yang berharga dari segala macam aktivitas yang pernah saya lewati, dan segala sesuatu yang mungkin bisa memberi manfaat bagi banyak orang. Ya, ini baru kali pertama.
Semuanya berawal di beberapa hari terakhir ini. Banyak hal yang terjadi, dan itu semua membuat saya benar-benar berpikir. Sebuah judul yang ingin saya ajukan sebagai tugas akhir selaku mahasiswi S1, tiba-tiba tidak mendapatkan respon seperti yang saya harapkan. Tema yang cukup unik, belum pernah saya temukan di skripsi mana pun, dan sungguh seirama dengan suara hati. Bahkan karena terlalu uniknya, hingga belum ada seorang pun yang sangat ahli untuk bisa membimbing saya.
Disinilah saya mulai terbentur oleh keadaan. Apakah akan meneruskan sebuah ambisi sejak lama yang hampir menjadi obsesi, ataukah mundur demi sebuah kompetensi yang konsisten.
Salah seorang dosen yang baru di semester 6 saya bertemu mengatakan beberapa hal pada saya. Mahasiswa Ilmu Politik di negeri kita jumlahnya sangat sedikit. Sangat disayangkan karena politik di Indonesia sedang menunggu untuk dibangun. Namun, dari jumlah yang sedikit, secara kompetensi tidak 100 persen juga dapat diandalkan mumpuni di bidangnya. Jadi harus ada yang diubah, entah itu sistem pengajaran ataukah pengajarnya. Tapi dari sudut mahasiswa juga tidak boleh diabaikan begitu saja.
Ilmu Politik dengan jenjang sarjana bukanlah jenis pendidikan praktis yang jika lulus hanya untuk mencari kerja. Ilmu Politik adalah pendidikan profesi yang tidak bisa berhenti hanya sampai pada sebuah gelar sarjana. Ilmu Politik butuh jangkauan yang lebih tinggi. Jika memang sukses menjadi seorang sarjana di Ilmu Politik, maka lanjutkanlah menjadi master dan doktor di Ilmu Politik. Ini yang disebut konsisten.
Dulu, ketika saya masih SMA dan sedang berada di gerbang menuju pilihan beragam program di perguruan tinggi, saya sering merenung. Apa yang sebenarnya saya inginkan? Apa yang menjadi cita-cita terdalam saya? Hal apa di dunia ini yang ingin saya raih, ingin saya capai, ingin saya genggam erat di tangan saya? What is my true desire?
Saat itu jawaban saya, SAYA INGIN MELIHAT DUNIA. Saya ingin meresap harum tanah negeri orang. Saya ingin menjejakkan kaki di bagian lain bola dunia ini. Saya ingin merasuk ke dalam segala macam perbedaan. Saya ingin bersatu dalam usaha menuju perdamaian sejati. Saya ingin mengenal seluruh wajah dari negeri asing. Saya ingin menggenggam dunia. Itu mimpi saya.
Maka kemudian, saya katakan tidak pada bapak ketika beliau ingin memasukkan saya ke IPDN. Maka saya katakan tidak ketika seorang kenalan bapak menganjurkan saya masuk akuntansi. Maka saya katakan tidak ketika banyak tetangga mengusulkan saya jadi guru seperti bapak. Maka saya katakan tidak ketika banyak keluarga bapak ingin saya jadi KOWAD, KOWAL, atau WARA.
Bila mengingat dulu, sering saya berargumen keras dengan bapak. Bahkan di suatu waktu kami sampai pada satu titik emosi tertinggi. Pertentangan demi pertentangan, argumen demi argumen, emosi dan kepedihan, semuanya terjadi saat itu. Hingga kemudian, sampailah saya disini. ILMU POLITIK UNIVERSITAS NASIONAL.
Accident??? Ya, harus saya akui, saya disini saat ini adalah hal yang tidak pernah saya duga. Dulu saya sama sekali buta soal politik. Tidak pernah juga terlintas niat untuk menjadi politisi. Tidak ada seorang pun di keluarga saya yang melintas di arena politik. Tidak ada pula dukungan yang sangat besar bagi saya untuk memulai sebuah pendidikan formal dan karir di politik.
Tapi, disinilah saya sekarang.
Sejarah memang tidak akan pernah dapat diulang. Masa lalu memang tidak dapat dihapus dan diganti dengan apa yang kita inginkan. Kumpulan jejak waktu silam memang tidak bisa diubah agar mengikuti kemauan kita. Tapi, bukan saatnya lagi untuk menyesal.
Pada akhirnya semua terfokus pada saat ini. Saya kemudian ingat tulisan salah seorang rekan yang mengatakan, ukirlah masa depan yang lebih baik dengan melakukan perubahan pada saat ini. Dan itu yang akan saya lakukan. Bagi masa lalu, mungkin lebih baik bila saya sedikit berdamai, anggap saja sebagai sebuah kompromi.
Maka kemudian yang tersisa adalah, sejauh mana saya berusaha di masa sekarang. Jika memang keputusan yang saya ambil tahun 2007 lalu adalah sebuah accident, maka kini tak ada hal lain selain lebih membuka hati, melakukan segalanya dengan penuh kesungguhan, keyakinan dan keteguhan. Bumi berputar tidak akan pernah menunggu kita, meski kita terlanjur mengambil pilihan yang keliru.
Akan selalu ada jalan dalam setiap kesempatan. Apakah itu dalam sekejap, berliku-liku, harus memutar jauh, lebar, melewati terowongan, atau hanya jalan setapak penuh batu. Dalam kasus saya, cukuplah berambisi namun jangan terobsesi, tetaplah berusaha konsisten dalam hal kompetensi. Jika dengan pilihan ini begitu jauh jarak untuk menggenggam dunia, bukankah menjadi akademisi juga cukup luar biasa?
No comments:
Post a Comment